Pernahkah kamu merasa tergoda untuk membeli barang-barang diskon ketika masuk ke dalam pusat pertokoan? Lalu, seakan tak bisa berkelit dari godaan, beberapa produk ini masuk ke kantong belanja?‎ Setelah membayar, kamu baru sadar bahwa barang tersebut tidak diperlukan. Keinginan untuk membeli tanpa rencana, bukan lagi didasari kebutuhan. Kalau iya, kamu tidak sendiri. Di Amerika Serikat, misalnya, survei Creditcards.com pada 2016 mendapati 84 persen dari 1.003 responden mengaku pernah melakukan pembelian impulsif.

Masih dari riset yang sama, sekitar 79 persen responden mengatakan lebih sering melakukan pembelian impusif saat berbelanja di toko. Survei ini dikumpulkan melalui wawancara secara langsung atau melalui telepon pada 7-10 Januari 2016. Meskipun para pelaku belanja impulsif sering kali menyesal, kebiasaan tersebut cenderung sulit “direm”. Padahal, dana belanja ini semestinya dapat dialokasikan untuk hal lebih bermanfaat.

Bayangkan, misalnya, jika uang itu ditabung, berapa banyak dana yang bisa terkumpul? Tabungan tersebut juga seharusnya dapat dipakai ketika menghadapi keadaan darurat yang membutuhkan biaya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara “mengerem” tindakan membeli secara impulsif dan menggantinya menjadi kebiasaan menabung?

Sebuah metode dikembangkan perancang busana dan penulis, Tina Roth Eisenberg, untuk mengurangi kebiasaan belanja barang tidak bermanfaat. Eisenberg terinspirasi dari salah satu pendekatan Marie Kondo yang tertuang dalam buku “The Life-Changing Magic of Tidying Up”.

“Pertanyaan ‘apakah barang ini membawa kebahagiaan bagi saya?’ dalam pendekatan Marie Kondo telah mengubah cara pandang terhadap semua hal yang saya miliki,” tulis Eisenberg dalam situs web Swiss-Miss.

Kini, dia selalu melontarkan pertanyaan tersebut sebelum memutuskan membeli barang. Alhasil, banyak barang tak jadi masuk kantong belanja. Tak berhenti di situ. Eisenberg pun menuliskan semua barang yang dia inginkan tapi tidak jadi dibeli.

“Daftar itu mengingatkan saya bahwa banyak barang yang saya pikir perlu dimiliki, berakhir menjadi seonggok barang dalam waktu cepat,” lanjut dia. Namun, hikmah terbaik dari metode tersebut—menurut Eisenberg—adalah tentang berhemat. Daftar barang tersebut mencerminkan jumlah uang yang berhasil dia “selamatkan”.

Meski demikian, bertanya pada diri sendiri saja terkadang tidak cukup menekan keinginan impulsif untuk membeli barang tidak dibutuhkan. Terlebih lagi ketika situasinya tak direncanakan, misalnya berjalan-jalan di mal yang sedang memberikan tawaran menarik. Dalam keadaan itu, penulis Paul Michael menyarankan menambah satu tahap “antisipasi”. Saran dia, masukkan saja semua barang yang “mendadak” diinginkan ke kantong belanja. Namun, jangan berhenti di situ apalagi langsung membayar belanjaan tersebut.

Sebelum memutuskan membayar, lontarkan pertanyaan seperti “‎apakah barang ini layak dibeli?”, “butuhkah anda dengan barang tersebut?”, atau “apakah anda bisa bertahan hidup tanpanya?”‎. Jika ‘tidak’ adalah jawaban dari semua kemungkinan pertanyaan di atas, kembalikan barang tersebut ke raknya. Tahapan ini, lanjut Michael, dapat memberikan rasa puas dan bangga.

“Dengan menganalisis pembelian lalu membulatkan tekad untuk mengeluarkan barang dari kantong belanja (sebelum membayar), anda telah melatih willpower atau tekad,” tulis Michael. Kepuasan bertambah, lanjut dia, ketika mengetahui jumlah uang yang dihemat karena tidak mengikuti hawa nafsu untuk berbelanja.

Manfaat tersebut akan semakin terasa jika uang yang biasa digunakan untuk belanja impulsif masuk ke tabungan. Ketika barang tidak jadi dibeli, tabungan bertambah sejumlah harga barang tersebut.

Namun perlu diingat, rekening untuk tabungan sebaiknya dipisahkan dari rekening transaksi harian. Jangan sampai uang tabungan bercampur dan malah terpakai untuk hal lain.

Sumber: www.kompas.com