Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan hampir 800.000 orang yang bunuh diri setiap tahun. Dari total angka tersebut, tidak sedikit yang berprofesi sebagai selebriti atau pekerja seni. Ambil contoh komedian Robin Williams, vokalis band Linkin Park Chester Bennington, novelis klasik Sylvia Plath, hingga pelukis kenamaan dunia Vincent van Gogh. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab di balik fenomena banyak artis bunuh diri?

Kenapa begitu banyak artis bunuh diri?

Setiap aksi bunuh diri adalah kasus yang unik, dan tidak ada yang benar-benar tahu pasti apa yang jadi alasan utama di baliknya — bahkan para ahli sekalipun. Ada banyak hal yang bisa mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri, dan ini bisa berbeda antar satu orang dengan yang lain. Bagaimana dengan selebriti dan seniman dunia?

1. Depresi

Bagi sebagian besar kasus, dorongan untuk bunuh diri dilatarbelakangi oleh gangguan jiwa kronis yang tidak terobati. Lebih dari 90 persen orang yang bunuh diri sebelumnya sudah memiliki gangguan mental, entah itu depresi, gangguan bipolar, atau diagnosis lainnya. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa orang sukses non-artis setaraf CEO berisiko dua kali lipat lebih tinggi untuk mengalami depresi daripada masyarakat umum.

Misalnya saja kasus bunuh diri Chester Bennington dan Chris Cornell. Kedua pemusik tersohor ini sebetulnya sudah sejak lama berjibaku dengan gangguan mental yang telah menggerogoti keduanya selama bertahun-tahun. Chester Bennington diketahui berjuang dengan depresi, sementara Chris Cornell mengidap gangguan kecemasan.

Dikupas lebih mendalam lagi, kemunculan gangguan jiwa bisa berakar dari banyak hal yang berbeda. Depresi bisa dipicu oleh trauma masa kecil, kurang tidur karena tur, hingga tuntutan pekerjaan untuk bisa terus menghasilkan karya sempurna setiap waktu.

2. Pengaruh media massa

Paparan media massa terhadap citra diri dan ketenarannya lambat laun bisa memicu seseorang yang sukses dan terkenal untuk mengalami stres berat dan depresi. Misalnya dari gosip dan berita hoax, serta banjir komentar negatif dari warganet.

Berita-berita media massa tentang kesuksesannya juga bisa membuat mereka terus-menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau terkenal. Lambat laun, tekanan berat ini bisa menggerogoti kesehatan mentalnya.

Kecenderungan depresi atau penyakit mental lainnya yang berakhir pada tindak bunuh diri juga bisa berakar dari ketenaran instan yang mereka dapat. Stres berat untuk berusaha memenuhi ekspektasi muluk-muluk dan super tinggi dari orang-orang sekitar agar tidak mengecewakan fans dapat memupuk gejala depresi.

Terkadang saat anda sudah mencapai puncak tertinggi dari kesuksesan karir, depresi bisa menjadi jangkar yang membuat anda terpuruk hingga ke dasar paling dalam dan tergelap dalam hidup karena anda terus-terusan dibombardir dengan permintaan dan harapan orang lain untuk meningkatkan kualitas karya anda atau harus menjadi lebih baik lagi.

Selain itu, paparan media massa yang memberitakan kasus bunuh diri yang seakan tak ada hentinya juga bisa memicu orang yang sudah rentan bunuh diri untuk nekat menjalani aksinya. Misalnya, lagi-lagi aksi bunuh diri dua sahabat dekat Chester Bennington dan Chris Cornell. Kematian Cornell dipercaya kuat memengaruhi Chester untuk ikut mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama persis: gantung diri.

3. Miras dan alkohol

Gaya hidup glamor di kalangan papan atas yang rentan pengaruh minuman keras dan narkoba bisa memicu risiko depresi dan bunuh diri. Miras dan narkoba dapat menyebabkan kecanduan jika terus dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang. Kecanduan itu sendiri bisa berangkat dari awalnya coba-coba yang kemudian dijadikan pelarian saat menghadapi tuntutan pekerjaan yang mahaberat.

Meski begitu, kebanyakan kasus ketergantungan miras dan narkoba ternyata lebih dulu diawali oleh depresi. Hampir sepertiga orang yang lebih dulu memiliki depresi berat kemudian baru mengembangkan masalah ketergantungan alkohol. Bahkan sejumlah penelitian melaporkan bahwa remaja yang mengalami depresi berat bisa dua kali lebih rentan untuk mulai minum-minum miras, ketimbang remaja yang tidak menderita depresi.

Sebuah penelitian dari Cornell University Medical College di New York melaporkan bahwa lebih dari lima puluh persen dari total kasus bunuh diri di dunia terkait dengan kecanduan minuman keras dan obat-obatan terlarang. Risiko percobaan bunuh diri bahkan diketahui 120 kali lebih tinggi dialami oleh orang dewasa yang kecanduan miras daripada orang dewasa yang tidak.

Jika seseorang yang sudah menderita depresi terbiasa minum alkohol, gejala depresinya bisa makin memburuk sehingga cenderung berpikiran untuk bunuh diri. Terlebih, efek memabukkan alkohol bisa membuat orang bertindak nekat tanpa pikir panjang. Ini pemikiran bunuh diri yang sudah menghantui sebelumnya semakin menjadi-jadi dan dibuat nyata setelah “dibantu” dengan pengaruh minuman keras.

4. Stigma negatif dari profesi itu sendiri

Profesi sebagai selebriti maupun pekerja seni adalah sebuah ironi. Anda bisa saja dikerumuni oleh banyak orang, mulai dari staf, pengawal pribadi, hingga fans yang membludak tapi tetap merasa sendirian dan kesepian.

Selebriti pada umumnya harus terus-terusan “jaga image” dan menyimpan sendiri kegundahan atau kesedihannya agar tidak terlihat lemah. Ini bisa membuat anda sulit untuk mengungkapkan emosi ketika harus menghadapi beratnya tekanan pekerjaan dan terpaan gosip kejam dari kanan-kiri, meski ia sudah merasa benar-benar putus asa.

Tekanan besar untuk menjaga citra diri sesempurna mungkin ini pula yang bisa membuat selebriti umumnya enggan mencari pertolongan ketika mengalami depresi atau masalah kesehatan jiwa lainnya. Mereka mungkin takut dan cemas akan diekspos oleh tabloid dan orang-orang usil ketika ketahuan mengunjungi psikolog. Akibatnya, keputusasaan ini akan terus menumpuk dan “meracuni” jiwa sampai akhirnya ia tidak kuat lagi untuk membendungnya.

Sumber: hellosehat.com