Penelitian terbaru menyatakan polutan berukuran paling kecil, nanopartikel, sebagai penyebab utama penyakit dan kematian. Namun alat pengukur polusi udara saat ini tidak menghitung zat beracun berukuran mikrokospik ini.

Setelah bertahun-tahun polusi udara menghiasi pemberitaan, kita masih belum benar-benar terinformasi tentang masalah kesehatan terbesar yang datang dari kerusakan lingkungan ini. Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa “PM2,5” — partikel polusi padat yang berukuran 2,5 mikrometer atau di bawahnya — dapat memasuki paru-paru dan aliran darah kita. Faktanya, dalam banyak kasus ini tidak terjadi.

Kita juga diberitahu bahwa gas NOx — termasuk nitrogen dioksida — adalah ancaman kesehatan terbesar di kota-kota. Pada kenyataannya, NOx bertanggung jawab atas tak lebih dari 14% kematian karena polusi udara di Eropa.

Zat pembunuh yang lebih ampuh tidak pernah disebut-sebut, tidak diregulasi, bahkan diperbincangkan oleh orang-orang di luar lingkaran ilmuwan tertentu: ia adalah nanopartikel.

PM2,5 mungkin terlalu kecil untuk dilihat, karena ukurannya yang sekitar 30 kali lebih kecil dari lebar sehelai rambut manusia. Namun sesungguhnya partikel ini cukup berat. PM2,5 berbobot sekitar 2.500 nanometer (nm), sementara nanopartikel dihitung memiliki berat 100nm ke bawah.

PM2,5 dan PM10 (10.000 nm) adalah partikel yang bisa menyebabkan penyakit paru-paru dan pernapasan. Sementara nanopartikel bisa mencapai, dan merusak, nyaris seluruh organ di dalam tubuh kita.

Pemerintah biasanya memonitor PM2,5 dengan ukuran massa. Namun dalam kasus nanopartikel, bahkan sejuta nanopartikel pun tidak akan mencapai berat satu mikrogram. Maka, ukuran massa tak mampu mencerminkan bahaya yang sesungguhnya.

Sejumlah ilmuwan sudah pernah mengatakan kita seharusnya lebih khawatir pada jumlah total partikel yang kita hirup dari udara, ketimbang hanya massa mereka.

Pada 2013, Surbjit Kaur adalah seorang ilmuwan muda yang tengah menyelesaikan S2-nya di Imperial College London, ketika salah seorang dosennya menyarankan ia bergabung dengan tim untuk Eksperimen Dapple, yakni riset yang melihat penyebaran polusi udara dan penetrasinya terhadap lingkungan lokal.

Kaur merancang sebuah penelitian yang melibatkan enam relawan “berpakaian seperti pohon Natal”, penuh dengan berbagai macam sensor polusi udara, dan berjalan di pusat kota London selama setiap hari selama empat pekan.

Para relawan ini terdiri dari teman-teman dan rekan Kaur di kampus. Kaur sendiri turut ambil bagian dalam penelitian tersebut.

“Kami berada di jalanan, meskipun kami tahu kami akan sakit karena secara terus-menerus menghirup paparan polusi ini,” kata Kaur yang saat ini tak lagi menjadi ilmuwan dan bekerja sebagai konsultan manajemen.

Para relawan mengenakan pengukur polusi standar di baju dan tas punggung mereka, yakni pengukur PM2,5 dan CO (karbon monoksida). Namun saat itu Kaur juga menambahkan satu lagi alat: sebuah ‘P-Trak’, yakni pengukur nanopartikel.

“Kami harus mengurus perizinan yang rumit untuk memakai alat ini [di lapangan] karena bentuknya yang mirip dengan pengukur Geiger [alat pengukur radiasi] dan ada kekahwatiran publik akan panik,” dia tertawa.

Alat ini, kata Kaur, dapat menghitung nanopartikel berukuran 2nm (berkali-kali lipat lebih kecil dari sel darah manusia) dengan cara menyedot udara, menyemprotkan alkohol ke permukaan partikel untuk membuat mereka terlihat oleh mata, dan menghitungnya satu per satu dengan laser.

Penelitian serupa sudah pernah dilakukan oleh tim dari Universitas Rochester New York dan Institut Kesehatan Publik Nasional Finlandia. Kaur punya firasat, menghitung “partikel ultrakecil” ini akan menemukan data yang menarik. Dan dia tidak salah.

Penelitian Surbjit Kaur pada 2003 di London melibatkan relawan yang terpapar 130.000 partikel di waktu bersamaan

“Saya mengharapkan adanya level variasi [dalam hal jumlah partikel],” ujarnya, “tapi level fluktuasi lah yang mengejutkan saya… Volume mobil yang lewat hanya memberikan sedikit pengaruh pada paparan PM2,5 kepada relawan. Namun pengaruh nanopartikel terekam sangat besar.”

Saat para relawan menyusuri trotoar, mereka terpapar pada minimal 36.000 sampai 130.000 partikel pada waktu yang sama. Ketika mereka mengambil rute sama dengan sepeda, angka maksimal dan minimal itu melonjak naik hingga 20.000.

Menariknya, jumlah rata-rata partikel polutan tertinggi tercatat ada di dalam mobil dan bus: semakin dekat kita dengan sumber polusi, atau dengan pipa knalpot yang mengeluarkan asap emisi, semakin tinggi pula jumlah nanopartikel.

Perbedaan paparan bila kita berjalan di trotoar yang sama, yang satu di sisi yang dekat dengan jalan dan yang satu di sisi yang dekat dengan gedung — meski hanya berjarak beberapa langkah saja — rata-rata sebanyak 82.000 dan 69.000 partikel. Tidak ada perbedaan di alat pengukur PM2,5.

Sekitar 2006, saat Kaur memutuskan pensiun dari menjadi ilmuwan, seorang mahasiswa doktoral di Universitas Cambridge membuat penelitian lanjutan.

Prashant Kumar sebelumnya sudah mempelajari PM2,5 dan PM10 untuk studi Masternya di Institut Teknologi India (IIT) di Delhi. Namun saat tiba di Inggris untuk studi S3, “Saya menemukan hanya ada sedikit, nyaris tidak ada, penelitian untuk memahami nanopartikel: cara mengukurnya, konsentrasinya di lingkungan berbeda.”

Penelitian dan makalah ilmiah Kumar tentang topik ini, yang diterbitkan sejak 2008, telah membuka diskusi tentang paparan nanopartikel dan menjadikan Kumar profesor di Universitas Surrey.

Sekumpulan awan yang terdiri dari sejuta partikel 10nm memiliki massa yang sama dengan satu PM10, namun luas permukaannya jutaan kali lebih besar

“Penelitian pertama saya di 2008 adalah penjelasan dan analisis,” ujar Kumar. “Ketika asap emisi keluar dari kendaraan, mereka berbentuk gas, kemudian menyebar menjadi partikel-pertikel nano. Lalu mereka bergabung kembali menjadi partikel yang lebih besar.

“Dari knalpot, Anda mendapatkan satu juta partikel per sentimeter kubik udara. Di jalan, jumlahnya 100.000 sementara di trotoar jumlahnya 10.000.”

Penelitian ini menemukan 90% dari seluruh partikel di jalanan yang sibuk adalah nanopartikel dengan ukuran di bawah 100nm.

Ini bisa menjadi masalah kesehatan, jelas Kumar, “karena semakin kecil partikel, maka semakin besar area permukaannya. Area permukaan yang besar berarti [potensi] keracunan semakin besar, karena mereka akan memengaruhi area permukaan yang lebih besar di dalam tubuh manusia.”

Sebagai gambaran, mari bayangkan partikel sebagai bola sepak dengan bola golf. Sebuah bola sepak memiliki keliling 70cm dan luas permukaan sekitar 1.500cm2. Sebuah bola golf tentu saja jauh lebih kecil, dengan keliling sekitar 13cm, dengan luas permukaan 54cm2.

Secara volume, kita bisa memasukkan 156 bola golf di ruang yang sama dengan sebuah bola sepak, namun total luas permukaan ratusan bola golf itu kemudian akan menjadi 8.452cm2 — ini 6,9 meter persegi lebih besar ketimbang satu bola sepak.

Dalam skala nano, perbedaan ini sangat besar. Kawanan sejuta partikel 10nm memiliki massa yang sama dengan satu PM10, namun luas permukaannya jutaan kali lebih besar. Dan area permukaan ini dilapisi dengan racun sisa bahan bakar dari emisi kendaraan.

Orang-orang yang berada di dalam mobil diperkirakan terpapar nanopartikel lebih banyak ketimbang mereka yang bersepeda atau berjalan di trotoar

Penelitian lain Profesor Kumar mengamati paparan polusi pada anak-anak kecil di dalam kereta bayi, di sepanjang sisi jalan sebuah kota kecil. “Kami menemukan anda menerima paparan tinggi ketika menunggu lampu lalu lintas, dan anak-anak mendapatkan paparan yang jauh lebih tinggi ketimbang orang dewasa.

“Dalam beberapa kasus jumlahnya sampai 20-30% lebih tinggi [di ketinggian kereta bayi bila dibandingkan dengan ketinggian orang dewasa]. Karena sistem imun mereka masih dalam masa perkembangan, mereka lebih rentan terkena imbas kesehatan.”

Studi Kesehatan Anak-Anak California, misalnya, menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di radius setengah kilometer dari jalanan yang sibuk memiliki kapasitas paru-paru yang menurun signifikan.

Nanopartikel juga bisa menembus dinding paru-paru dan masuk ke sistem peredaran darah, dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh partikel PM2,5 yang lebih besar. Bila mereka sudah berada di aliran darah dan paru-paru, mereka bisa menimbulkan peradangan, lalu berpindah ke organ-organ lain di dalam tubuh.

Hingga baru-baru ini, tidak diketahui secara pasti ukuran partikel yang bisa masuk ke organ lain, dan seberapa besar yang menempel di paru-paru dan saluran udara bagian atas.

Mula-mula, tim Edinburgh memakai tikus untuk bernapas di ruangan dengan nanopartikel warna emas; kemudian, giliran relawan manusia

Kepingan terakhir teka-teki ini dijawab oleh sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor David Newby di Universitas Edinburgh pada 2017. Dr Jen Raftis, salah satu ilmuwan dalam riset tersebut, berkata: “Ada banyak ide tentang bagaimana kita bisa menunjukkan keberadaan nanopartikel [di dalam aliran darah], banyak teknik imaji. Tapi tidak ada teknik yang memiliki resolusi sebesar itu, maka kami lantas memutuskan untuk menggunakan emas.”

Sebuah mesin yang dipinjam dari Belanda memakai elektroda untuk menyemprot emas pada nanopartikel yang berukuran 2nm. Mula-mula, tim Edinburgh menggunakan tikus untuk menghirup nanopartikel emas; kemudian, giliran relawan manusia.

“Kami memakai emas karena kami yakin aman,” kata Raftis meyakinkan. “Secara klinis, emas tidak bereaksi dan tidak menyebabkan tekanan oksidasi di dalam tubuh.”

Emas juga lebih mudah dideteksi, tidak seperti partikel karbon yang akan berkamuflase bila dimasukkan ke dalam tubuh manusia yang terdiri dari karbon.

Para relawan memberikan sampel darah dan urin mereka 15 menit dan 24 jam setelah menghirup partikel. Seperti yang sudah diduga, ada partikel emas di dalam sampel yang diberikan itu.

Tim menemukan ambang batas 30nm; apapun yang berukuran di bawah itu ditemukan berenang bebas di aliran darah, dan apapun yang berukuran di atas itu tidak akan bisa menembus paru-paru.

“Tentu saja, kami tidak bisa melakukan biopsi pada manusia, tapi tikus-tikus percobaan itu kami bedah,” kata Raftis. “Kami menemukan akumulasi [partikel] terbesar ada di paru-paru, kemudian di hati, karena hati adalah organ yang dilewati oleh darah pertama kali…

“Ukuran pori-pori di ginjal adalah 5nm, jadi apapun yang ukurannya lebih besar dari itu tidak akan masuk ginjal… Ada kemungkinan akumulasi di bagian-bagian lain tubuh juga, karena ukuran pori-pori berbeda di seluruh tubuh.”

Emas masih ditemukan di urin para relawan tiga bulan setelahnya.

Partikel emas dipakai untuk melihat jika nanopartikel terakumulasi di bagian lain tubuh

David Newby, didanai oleh British Heart Foundation, lalu meneliti studi ini lebih lanjut. Lagi-lagi, secara teori – meski belum terbukti – nanopartikel yang terkumpul di arteri dapat mengakibatkan stroke dan penyakit jantung.

Newby meneliti pasien-pasien rumah sakit yang akan menjalani operasi untuk membuang lemak (atau dikenal dengan ‘plak’) dari arteri. Jika mereka menghirup nanopartikel emas, apakah mereka akan ditemukan di plak yang dibuang melalui operasi sehari setelahnya?

“Ya, kami menemukan emas di plak,” kata Raftis, yang masih sangat antusias membicarakan temuan ini. “Ini mengindikasikan partikel polusi udara dengan ukuran dan struktur ini bisa sampai ke plak dalam waktu 24 jam setelah dihirup.

“Ini adalah risiko yang cukup besar bagi pasien-pasien jantung… karena polusi udara biasanya terekspos seumur hidup. Kami hanya melakukan eksperimen sekali, tapi sesungguhnya ini terjadi setiap hari.”

Bayangkan plak tersebut adalah arena kecelakaan mobil, dan arteri sebagai jalanan; nanopartikel layaknya mobil-mobil yang berderet di belakangnya, sehingga mengakibatkan kemacetan yang lebih besar. Nanopartikel ini juga bisa jadi merupakan penyebab kecelakaan, karena mereka membuat arteri meradang akhibat bahan kimia beracun yang menempel di permukaannya.

Penelitian Global Burden of Deseases memperkirakan polusi udara menyebabkan 21% dari seluruh kematian akibat stroke dan 24% kematian akibat penyakit jantung iskemik. Zat buangan dari kendaraan telah lama dituding sebagai penyebabnya, namun selama ini masih belum diketahui apa di dalam gas buangan itu yang ‘membunuh’ kita. Kini, banyak yang berpikir nanopartikel lah peluru itu.

Hasil pengukur polusi di situs pemerintah atau aplikasi ponsel yang menunjukkan PM2,5 rendah memberikan kesan salah bahwa udara bersih, padahal faktanya, banyak nanopartikel yang masuk ke arteri kita

Kebanyakan negara, termasuk AS dan Eropa, memiliki batasan legal untuk polutan udara berbahaya, termasuk PM2,5, NOx, karbon monoksida, dan sulfur dioksida. Tapi belum ada peraturan serupa untuk nanopartikel.

Alasan yang biasanya diutarakan adalah, “PM2,5 termasuk semua partikel di bawahnya sampai 1nm”. Secara teknis, memang demikian, tapi seperti yang sudah kita ketahui sekarang, jutaan nanopartikel yang ada di udara masih menghasilkan hasil PM2,5 yang rendah.

Hasil pengukur polusi di situs pemerintah atau aplikasi ponsel yang menunjukkan PM2,5 rendah memberikan kesan salah bahwa udara bersih, padahal faktanya, banyak nanopartikel yang masuk ke arteri kita.

Partikel-partikel yang lebih kecil sebenarnya memiliki luas permukaan kolektif lebih besar karena mereka lebih banyak — dan mereka memiliki efek racun lebih banyak

Mungkin satu-satunya berita baik ialah, meski jumlah partikel tidak selalu berkorelasi dengan massa partikel (PM2,5), mereka cenderung berkorelasi dengan NOx. Seperti nanopartikel, NO2 ditemukan lebih tinggi bila lebih dekat dengan sumbernya, lalu dengan cepat menghilang. NO2 bahkan bereaksi dengan gas-gas lain di udara untuk membentuk nanopartikel. Sehingga, mengatasi masalah NO2 kerap kali bisa berfungsi sebagai proksi untuk mengurangi nanopartikel.

“Mereka bereaksi dengan baik,” kata Kumar, “karena mereka berasal dari sumber yang sama.”

Solusi untuk NOx dan nanopartikel juga sama: mengganti proses pembakaran dengan elektrifikasi. Mobil listrik masih akan menerbangkan debu-debu di jalanan, tapi mereka tidak mengeluarkan emisi nanopartikel atau NOX yang berasal dari proses pembakaran.

Transportasi nol-emisi, seperti berjalan kaki dan bersepeda, bahkan lebih baik. Semakin cepat kita mewujudkan transisi ini, semakin banyak nyawa yang bisa diselamatkan.

Sementara itu, kita juga harus mengurangi paparan polusi dengan cara memisahkan secara fisik orang-orang dengan lalu lintas berbasis pembakaran. Misalnya, dengan jalur sepeda yang terpisah dan pagar tanaman — seperti pohon, semak-semak dan tanaman jalar — di antara trotoar dan jalanan.

Nyaris satu dekade setelah penelitiannya, Kaur mengaku kebiasaan sehari-harinya masih terpengaruh penelitian nanopartikel yang dilakukannya dulu. “Teman-teman saya tertawa karena saya berjalan mepet ke dinding ketika di trotoar!” dia tertawa. “Sebisa mungkin saya juga berjalan melalui taman.”

Di Edinburgh, Raftis bahkan selangkah lebih maju. “Saya berhenti membakar lilin di rumah. Saya tidak membakar kayu di perapian, meskipun saya menyukainya. Saya tidak pernah lari di trotoar, tapi di taman. Saya tidak menyetir mobil, dan tidak ingin melakukannya, kecuali mobil listrik.”

Dia bersepeda, meski ada kemungkinan terpapar partikel tinggi, karena “meskipun anda bersepeda di tengah kemacetan, anda bisa mengimbangi paparan polusi udara tersebut dengan berolahraga.”

Di kota yang sama, paparan polusi udara berbeda untuk tiap-tiap orang, tergantung moda transportasi dan rute yang kita ambil. Kebanyakan kota atau negara mengukur polusi udara dengan stasiun-stasiun pengawas, yang mengkukur kualitas udara di sekitarnya. Manusia, sementara itu, tidak menghabiskan hidup kita dengan berdiri saja.

“Saya masih merasa ini mencengangkan,” ujar Kaur, berbincang dengan saya dari kantornya yang terletak di pinggir Sungai Thames, memandang kantor Wali Kota London.”Jika anda membuat kebijakan polusi udara untuk kesejahteraan manusia, dan anda mendasarkan kebijakan itu pada data yang tidak relevan, apakah anda benar-benar membantu orang, atau justru menjerumuskan mereka?

Source: bbc.com/indonesia