The Grand Hotel, Cannes, 1976. Pada suatu malam di musim panas, sang pria kaya dan si pria miskin berdiri di dalam sebuah elevator.

Pria kaya itu adalah Pangeran Abdullah bin Nasser: cucu laki-laki pendiri Arab Saudi; putra mantan gubernur Riyadh; kaya raya tak terkira.

Pria miskin itu adalah Eamonn O’Keefe: pesepakbola asal Manchester; putra seorang pegawai percetakan; pemilik rumah teras di kota Oldham.

Kedua pria itu baru kembali dari kasino. Abdullah kalah – selalu kalah – apa pun yang terjadi. Jika anda seorang pangeran Saudi, uang ribuan dolar hanya seharga uang makan siang.

Eamonn tidak biasa berjudi, tapi ia baru saja menang. Dua tahun sebelumnya, ia adalah seorang pemain cadangan di klub Plymouth Argyle di papan ketiga sepak bola Inggris, yang berusaha mencari uang receh untuk membayar meteran listriknya.

Kini, ia terbang dengan pesawat jet: pesawat kelas satu, hotel bintang lima, dalam sebuah perjalanan mewah keliling Eropa dengan salah satu keluarga terkaya di dunia.

Lalu, di dalam elevator, Abdullah menghadap ke arah Eamonn.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” ujar Abdullah. Ia meletakkan tangannya di bahu Eamonn. “Aku rasa aku mencintaimu.”

Eamonn bisa mencium napas sang pangeran; bau rokok dan wiski Johnnie Walker. Dengan gugup, ia menjawab. “Maksudmu – seperti saudara, kan?”

“Bukan,” ujar Abdullah. “Tidak seperti saudara.”

Dan saat itu lah, pada suatu malam di musim panas di kota Cannes, masalah dimulai.

Eamonn, yang kini berusia 65 tahun, tumbuh besar di Inggris pasca-perang, di sebuah rumah susun – perumahan bagi masyarakat Inggris yang dibangun oleh otoritas setempat – semi terpisah dengan tiga kamar di Blackley, utara Manchester. Ia punya tiga saudara laki-laki, dua saudara perempuan, dan seekor anjing. Nenek dan kakeknya juga tinggal di sana. Di mana mereka tidur pada masa itu?

“Saya masih bingung,” ujarnya di sebuah hotel di kota Manchester, tersenyum mengingatnya.

Ayahnya, seorang pria keturunan Irlandia, mengelola tim sepakbola pria St Clare Catholic. Ibunya mencuci dan menyetrika perlengkapan tim itu; Eamonn mengambil bola, lalu menyemirnya sebelum pertandingan berikutnya.

Rumah Eamonn terletak sekitar 27 meter dari taman di mana ia suka bermain, di atas rumput Manchester yang basah, hingga hari gelap. Ia seorang pesepakbola yang baik: dipilih masuk ke dalam Sekolah Manchester dan tim muda Manchester United hingga, pada sebuah pertandingan melawan Altrincham, kakinya patah.

Impiannya – bermain di bawah siraman cahaya lampu Old Trafford – usai. Alih-alih, ia meninggalkan bangku sekolah dan bekerja sebagai pesuruh di kantor media Manchester Evening News.

Ketika kakinya mulai sembuh, ia bergabung dengan Stalybridge Celtic, klub semi-profesional di dekat rumahnya. Manajer pertamanya adalah George Smith, mantan pemain bola yang tengah meniti karir sebagai pelatih internasional.

George – yang sebelumnya melatih di Islandia – meninggalkan Stalybridge untuk mengelola klub Al-Hilal, salah satu klub sepak bola terbesar di Arab Saudi. Segera setelahnya, Eamonn juga meninggalkan klub tersebut, pindah sejauh hampir 500 kilometer ke selatan untuk bergabung dengan klub profesional Plymouth.

Akan tetapi ia menderita di sana – gajinya tidak menutupi biaya sewa rumah – dan ia hanya bertahan kurang dari satu musim. Setelahnya, setelah ia pulang ke rumah, ia menerima sepucuk surat.

Cap posnya dalam bahasa Arab.

Surat itu dari George Smith. Ia meminta Eamonn terbang ke Saudi untuk masa percobaan selama satu bulan. Jika ia membuat terkesan – dan mampu menahan cuaca panas di sana – ia bisa menjadi pemain Eropa pertama yang bergabung dengan Al-Hilal.

“Saat itu bulan November, saya rasa tengah turun salju (di Manchester),” ungkap Eamonn. “Saya pikir – ‘itu bukan undangan yang buruk.'”

Namun bukan hanya cuacanya yang menarik. Eamonn sudah menikah dengan dua anak: sebuah mantera di Saudi, pikirnya, bisa berarti melunasi utang kredit rumahnya lebih cepat dari yang ia perkirakan.

Ia lantas pergi ke London dan terbang ke ibu kota Arab Saudi, Riyadh, melalui Kairo dan Jeddah. Saat tiba di Jeddah, ia tahu ia berada di dunia yang sama sekali berbeda. Seorang petugas Saudi mengambil koran Sunday Express-nya, mengeluarkan sepasang gunting, dan memotong foto perempuan di lembarannya, membiarkan bagian kepalanya saja yang tersisa.

Hal itu bisa jadi lebih buruk, kata Eamonn: pria di sebelahnya punya News of the World.

Gegar budaya itu terus berdatangan. Di Riyadh, George menunggu Eamonn di landasan, duduk di kap mobil Buick yang besar. Di kampung halamannya, Eamonn mengemudikan mobil Morris Mini.

Di Manchester, ikan goreng dan keripik adalah suguhan gratis. Di hotel bintang lima, Eamonn bisa makan dan minum sepuasnya.

Eamonn – pria berusia 22 tahun yang sebelumnya tinggal di sebuah dewan rumah – berada di tengah semesta yang berbeda. Bukan cuma suhu udara, atau pohon palem, atau padang pasir berkilauan yang membentang di cakrawala. Tapi kemakmurannya.

Pembentukan Opec tahun 1960, dan krisis minyak tahun 1973, membuat perekonomian Saudi tumbuh pesat. Antara tahun 1970 dan 1980, ekonomi negara tersebut meroket hingga lebih dari 3.000%. Negeri itu bermandikan minyak, dan orang-orang hebat memiliki kekayaan yang berlimpah. Eamonn akan menemui salah satu di antaranya.

Eamonn pertama kali melihat Pangeran Abdullah bin Nasser di lapangan berlatih Al-Hilal di Riyadh.

Masih dalam masa percobaan, ia sedang bermain dalam sebuah pertandingan latihan ketika Abdullah, presiden klub sepak bola itu, menepi dalam mobil Buick birunya. Dari lapangan, Eamonn melihat sepasang mata tengah mengintip dari balik jendela yang diturunkan.

“George bilang: ‘Kau lihat mobil itu? Itu bosku – sang presiden. Ia yang menentukan iya atau tidak (atas suatu kontrak). Jadi bermainlah yang bagus!”

Langsung saja, bola datang dari sisi sayap kanan. Mata Eamonn berbinar. Ia melompat, rambut pirangnya memantul di tengah udara gurun, dan ia membawa bola itu ke arah gawang.

“Bola itu meluncur ke sudut atas gawang,” ujarnya, 40 tahun lebih kemudian. “Benar-benar meluncur.”

Lima menit kemudian, bola itu datang dari sayap kiri. Lagi-lagi, ia melompat. Lagi-lagi, bola itu mengenai sudut atas gawang. Ketika mereka menunggu pertandingan kembali dimulai, George membisiki telinga Eamonn.

Apa pun yang sedang kamu pikirkan, katanya, merujuk pada permintaan upah Emaonn, “tambahkan satu nol lagi.”

Setelah pertandingan, Eamonn, masih dalam pakaian yang basah kuyup dengan keringatnya, pergi menemui sang pangeran. Abdullah menanyakan untuk memastikan bahwa hotel yang diinapinya bagus; Eamonn menjawab ya. Abdullah menanyakan apakah George senang; George menjawab ia senang.

“Kembalilah ke hotel dan tuliskan apa saja kebutuhanmu,” ujar sang pangeran.

Eamonn dan George menulis sebuah daftar: uang, mobil, apartemen, penerbangan ke Inggris dan sekolah swasta untuk kedua anak Eamonn ketika mereka sudah cukup usia. Pada sesi latihan berikutnya, mobil Buick biru itu kembali menepi. George menyerahkan daftar itu kepada Abdullah.

“Tidak masalah,” ujar sang pangeran.

Di Inggris, Eamonn mendapat gaji £40 (Rp737 ribu) per minggu, plus £15 (Rp276 ribu) dari bermain sepak bola. Gaji mingguannya yang baru ada di sekitar angka £140 (Rp2,5 juta) – setara dengan £1.100 (Rp20,2 juta) hari ini, menurut data inflasi Bank of England. Tak ada pajak, tak ada tagihan, tak ada yang perlu dicemaskan.

Short presentational grey line

Dengan persetujuan kontraknya, Eamonn terbang kembali ke Manchester, mengemasi barang-barangnya dan kembali ke Riyadh bersama keluarganya. Pada mulanya mereka tinggal di sebuah hotel, dan – seperti sebelumnya – tidak membayar sepeser pun.

“Tagihannya mengejutkan, tapi tak pernah dipertanyakan,” ujar Eamonn.

Istrinya menerima pekerjaan dengan penghasilan yang bagus di First National City Bank, dan, karena Al-Hilal hanya berlatih dua kali seminggu, Eamonn menghabiskan waktunya di kolam renang, mengurus anak-anaknya, berdiskusi soal sepak bola dengan George. Hari-hari itu adalah momen yang indah di negeri padang pasir. “Aku masih bisa membayangkan anak-anak dengan pelampung mereka,” ungkapnya.

Sejak awal, Abdullah menyukai Eamonn. Ia membelikannya mobil – “Sebuah Pontiac Ventura warna perak, dengan kap mesin bak landasan” – dan sering mengundangnya untuk minum teh. Mereka pergi menonton pertandingan sepak bola di layar raksasa (sebuah bentuk kemewahan di tahun 1976) atau berbincang-bincang dengan saudara-saudara lelaki Abdullah.

Itu adalah situasi yang sulit dipercaya – seorang pria berambut pirang asal Inggris disambut hangat di lingkungan kerajaan Saudi – namun Eamon menikmatinya. Ia masih muda dan percaya diri, dan menganggap orang Arab luar biasa baik hati dan ramah. Entah bagaimana, rasanya seperti di Manchaster – kecuali di sini, teman-temannya adalah penguasa negeri.

Di lapangan, semuanya juga berjalan mulus. Eamonn menyukai rekan-rekan satu timnya, dan tim itu berhasil mencapai babak semifinal kompetisi King’s Cup (sebelum kalah gara-gara penalti melawan rival mereka, klub Al-Nassr). Arab Saudi tidak sempurna – pernah suatu kali Eamonn mengendarai mobilnya, dengan kedua anaknya duduk di kursi belakang, ketika aksi perajaman tengah berlangsung di sebuah alun-alun – tetapi hidup sangat nyaman saat itu.

Ketika musim pertandingan usai, Eamonn dan keluarganya pulang kembali ke Inggris untuk berlibur. Sebelum mereka pergi, Abdullah meminta nomor telepon rumah Eamonn.

“Aku juga sedang merencanakan perjalanan ke Inggris,” ujar sang pangeran. “Kita harus bertemu.”

Setelah tiga pekan berada di Inggris, Abdullah menghubungi telepon rumah ibunda Eamonn, di mana ia dan keluarganya tinggal selama di sana. Eamonn tengah berada di luar rumah sehingga sang ibu yang mengangkat teleponnya.

“Siapa namanya – tadi menelepon,” ujar sang ibu kepada anaknya itu. “Teman pangeranmu itu.”

Eamonn balik menghubungi Abdullah – dengan biaya ditanggung – ke Carlton Tower, hotel di dekat Harrods di London. Dua hari kemudian, ia naik kereta ke Euston. Seorang sopir menjemputnya di stasiun.

Di ibu kota, Eamonn kembali menikmati gelimang uang Saudi yang tak pernah habis. Ia memerhatikan ketika sang pangeran membeli enam setelan jas Cecil Gee dan bertanya-tanya, di Hotel Grosvenor, kenapa seorang pria dengan sarung tangan putih itu berdiri dekat urinoir. (“Jujur saja saya berpikir – dia tidak memeganginya untukmu, kan?”)

Ketika salah satu asisten Abdullah memerlukan sepasang sepatu baru, Eammon diberi uang sebesar £200 (Rp3,6 juta) untuk pergi membelinya. Ia mengembalikan £150 (Rp2,7 juta) dan pergi ke toko Marks & Spencer.

“Dunia yang berbeda,” ujar Eamonn.

Tak lama setelahnya, asisten tersebut kembali ke Riyadh, sehingga Abdullah lantas bertanya kepada Eamonn jika ia mau menggantikan posisi sang asisten dalam perjalanan tersebut. Tujuan berikutnya adalah Paris, kemudian Cannes, Roma, Kairo, lalu kembali ke Saudi. Istri Abdullah ingin berbelanja furnitur; sang pangeran berencana berjudi di kasino-kasino Eropa.

Istri dan anak-anaknya akan pergi ke Wales mengunjungi rumah ibu mertuanya, maka Eamonn pun setuju. Seminggu kemudian, ia berada di dalam mobil limusin menuju Heathrow, siap menapaki perjalanan mewahnya dengan “Pangeran Siapa-Namanya”.

Short presentational grey line

Pada titik tersebut, sang pangeran Saudi dan pemuda asal Blackley itu telah menjadi teman. Eamonn dan Abdullah: Pertemanan yang Aneh.

“Kami cepat akrab, kami tertawa tanpa henti,” ujar Eamonn. “Saya rasa ia bosan dengan teman-temannya yang sering menjilatnya.”

Di bandara Charles de Gaulle, duta besar Saudi menemui sang pangeran dan rekannya itu. “Bendera di mobil, semua itu,” ujar Eamonn.

Sementara Abdullah menghadiri berbagai rapat, ia meminta Eamonn menjaga sebuah koper. Eamonn memesan kopi dan sebatang cokelat, menunggu di area VIP, dan akhirnya dibawa pergi ke Paris sendirian, berjaga-jaga.

Satu jam kemudian, telepon di kamar hotelnya berdering. Abdullah yang menelepon, meminta koper itu, maka Eamonn pun turun ke kamar sang pangeran. Pangeran membuka kunci koper dan menunjukkan kepada Eamonn apa yang sejak tadi ia jinjing: ribuan demi ribuan uang franc Perancis.

“Agak seperti apa yang Anda lihat di televisi, ketika tak ada ruang untuk benda lainnya,” tutur Eamonn. “Saya meninggalkan koper itu di kursi ketika membeli kopi di bandara – bayangkan jika saya menghilangkannya?”

Malam itu, Eamonn makan malam di atas perahu berlantai kaca di sungai Seine, lalu mengagumi kota itu dari balkon kamar hotelnya. Ia tertidur bahagia. Namun mimpi indahnya tidak bertahan lama.

Dua hari kemudian, mereka terbang ke Cannes, di mana mereka pergi ke kasino dan menaiki elevator yang sama.

Setelah Abdullah menyatakan perasaannya, ruang lift itu terasa lebih kecil, kenang Eamonn.

Sang pangeran dengan jelas menyatakan apa yang ia rasa, maka Eamonn juga melakukan hal yang sama. Ia bukan gay. Ia tidak tertarik menjalin hubungan romantis. Ia ingin menjadi seorang pesepak bola, tidak lebih.

“Itu terjadi kira-kira 15 detik (hingga pintu elevator terbuka),” ujar Eamonn. “Tapi rasanya seperti sebulan. Ada nuansa dingin tak mengenakkan yang terasa.”

Pada saat itu, perjalanan mewah itu telah usai. Suasananya telah berubah, begitu pula dengan rute perjalanannya. Alih-alih menginap tiga malam di Roma, mereka hanya menghabiskan satu malam; alih-alih mampir di Kairo, mereka langsung meluncur ke Riyadh.

“Rasanya seperti es,” kenang Eamonn.

Eamonn merasa malu, tapi ia tidak khawatir. Di dalam lift, Abdullah mengatakan kepadanya bahwa hubungan mereka akan kembali menjadi “presiden dan pemainnya”, dan Eamonn pun memercayainya.

“Saya tidak berpikir sedikitpun bahwa saya berada dalam bahaya,” tuturnya. “Saya pikir – saya sudah tanda tangan kontrak, kita akan kembali normal.”

Setelah kembali ke Riyadh, itu berubah. Homoseksualitas saat itu – dan masih saat ini – ilegal di Arab Saudi, dan keluarga kerajaan saat itu – dan masih hingga kini – berkuasa penuh. Eamonn tidak berencana menguak rahasia Abdullah – tapi bagaimana jika ia ingin memberi tekanan?

Eamonn merasa khawatir. Klaustrofobia. Paranoid, mungkin. Ia mengatakan apa yang terjadi kepada George untuk memastikan. Ia tidak mendapat kepastian apa pun.

“Mereka tidak akan menyerah begitu saja, bodoh,” ujar George.

Short presentational grey line

George Smith kini berumur 84 tahun; masih menonton sepak bola dan bersemangat menceritakan kisah-kisahnya melatih sepak bola dari masa lampau. Apakah ia mengingat Eamonn? “Oh ya,” katanya melalui sambungan telepon dari Rochdale. “Saya membuatnya menjadi seorang pro.”

Cerita George melompat-lompat dari Arab Saudi ke Islandia, lewat Oman dan Bahrain. Tapi sosok Eamonn menonjol dalam kisah itu. Ia menyukainya, tetapi bahkan sebelum perjalanan mewah Eamonn dan Abdullah, ia sudah khawatir. Eamonn menghabiskan terlalu banyak waktu dengan Abdullah, pikirnya – dan Abdullah mengeluarkan terlalu banyak uang untuk Eamonn.

“Saya rasa mereka terlalu dekat, dan presiden (Abdullah) tahu itu,” ujarnya. “Ia tahu saya cemas tentang itu.”

Ketika George mendengar kisah di Cannes, ia mengatakan kepada Eamonn untuk meninggalkan Arab Saudi demi keselamatannya. “Ia dalam bahaya,” ujarnya. “Apa saja bisa terjadi.”

Seperti?

“Hanya Tuhan yang tahu. Semacam kecelakaan. Ia terlibat dengan kerajaan (Abdullah) – Anda tak seharusnya melakukan itu.”

Eamonn tertekan. Ia mengetahui sebuah rahasia tentang salah satu pria paling berkuasa di Arab Saudi, dan hal itu – pikirnya – membahayakan dirinya. Ia menghabiskan malam itu di sofa milik George, namun sebagian besarnya hanya menatap langit-langit. Ia masih 22 tahun, jauh dari rumah, dan ketakutan. Keluarganya berada di Inggris, dan ia tidak bisa membiarkan mereka kembali ke Riyadh.

Meski demikian ada satu masalah.

Untuk meninggalkan negara itu, bosnya harus menandatangani visa keluar – dan bos itu adalah Pangeran Abdullah. Bagi Eanomm, Saudi selalu terasa bersepuh emas. Kini, Saudi terasa seperti sangkar bersepuh emas.

Keesokan paginya, Eamonn memutuskan untuk berbohong.

Ia akan mengatakan kepada Abdullah bahwa ayahnya sakit, dan bahwa ia ingin menjenguknya di Inggris. Ia lantas pergi ke rumah mewah Abdullah, menceritakan alasannya dan menunggu reaksinya. Sang pangeran mendengarkan namun tidak mengeluarkan keputusan apa pun. Ia justru membuat Eamonn berkeringat. Mereka akan mendiskusikannya besok, kata Abdullah.

Malam itu juga malam yang panjang. Hotel bintang lima di Paris, ketika ia tertidur pulas tanpa beban, tampak seperti waktu yang sudah sangat lama.

Keesokan harinya, Eamonn mendatangi klub sepak bolanya untuk menemui Abdullah. Sang pangeran menutup pintunya dan mengatakan pegawainya untuk tidak mengganggu mereka. Eamonn ingat sang pangeran duduk di atas kepala meja yang besar.

“Apakah ini karena Prancis?” tanya sang pangeran. “Aku tidak yakin kamu akan kembali.”

Ketika Eamonn mencoba membujuk Abdullah, sang pangeran mengambil pulpen dan kertas. Pelan-pelan, Eamon mengatakan, ia menulis sesuatu dalam bahasa Arab. Itu adalah sebuah kesepakatan. Eamonn boleh pulang ke Inggris, tetapi hanya untuk satu minggu.

Yang perlu dilakukannya tinggal tanda tangan.

Eamonn tidak bisa membaca aksara Arab. Yang ia tahu, ia akan menandatangani kesepakatan terkait hidupnya. Maka ia pun tidak bisa menandatanganinya.

Akan tetapi, ia juga tidak bisa merobek kertas itu. Jika ia melakukannya, sang pangeran tak akan pernah melepaskannya. Ia berpikir, dengan cepat, dan memutuskan apa yang kini ia sebut “Gertakan Terbaik”.

“Kau ingin aku menandatangani ini?” tanya Eamonn. “Saya harus memercayai kontrak dalam bahasa Arab ini – tetapi kamu tidak memercayai saya? OK, tidak masalah.”

Eamonn mengambil pulpen dan menandatanganinya. Di detik terakhir, ujar Eamonn, Abdullah merebut kertas itu, merobeknya, dan membuangnya ke tempat sampah.

“Aku akan menjadwalkan penerbangan untukmu,” ujarnya, dengan enggan.

Short presentational grey line

Hari berikutnya, Eamonn berangkat ke bandara. Ia hanya membawa pakaian untuk seminggu, agar Abdullah tidak berpikir bahwa ia akan pergi selamanya. Apakah ia masih ketakutan?

“Tentu saja,” kata Eamonn. “Karena jika ia (Abdullah) bilang kau tidak akan naik pesawat itu, (maka) kau tidak akan menaikinya. Bahkan ketika pesawat itu lepas landas, saya khawatir.”

Setelah ia mendarat di London, ia memukul kursi di hadapannya dengan penuh gembira. Namun masalahnya belum selesai. Untuk melanjutkan karirnya di Inggris, ia harus mendaftarkan diri ke dalam Asosiasi Sepak Bola (FA). Untuk mendaftar ke sana, ia perlu mendapatkan izin dari Arab Saudi.

Setelah berbicara dengan FA, Eamonn menerima sebuah faksimili dari Riyad. Isinya menuntut:

– 9.000 riyal (Rp33,7 juta) karena melanggar kontrak (setara dengan Rp147,3 juta saat ini)

– 1.500 riyal (Rp5,6 juta) untuk perbaikan pendingin ruangan di apartemennya

– £300 (Rp5,5 juta) untuk membayar pinjaman dari Abdullah

– Dikurangi satu bulan gaji yang masih terutang kepada Eamonn

Eamonn dapat menerima poin pertama dan keempat. Lainnya, ia rasa, adalah balas dendam Abdullah. Pendingin ruangan itu tidak rusak, ujarnya, dan ia tidak pernah meminjam uang sepeser pun dari sang pangeran.

Eamonn berbicara dengan FA dan, pada 22 November 1976, menerima sebuah telegram dari London. “Harap telepon – biaya ditanggung – penting,” bunyinya. Telegram itu ditandatangani kepala sepak bola Arab Saudi yang baru, Jimmy Hill.

Pada tahun 1976, Jimmy Hill adalah salah satu orang paling terkenal di jagat sepak bola Inggris. Pada tahun 1961, sebagai kepala serikat pesepakbola, ia menghapuskan upah maksimum; dan pada tahun 1970-an, ia menjadi pembawa acara sepak bola utama BBC, Match of the Day.

Kontrak di Arab Saudi bernilai £25 juta (Rp460 miliar). Berapa yang masuk ke kantongnya dan berapa yang masuk ke kantong sang anak, Duncan (juga dikontrak di Saudi) tak ada yang tahu, namun yang jelas jumlahnya terlalu banyak untuk dicerna seorang bocah dari Blackley.

Sesuai permintaan, Eamonn menghubungi Hill. Ayah Eamonn – anggota serikat dagang – mengatakan bahwa ia lega untuk mengatakan kepada Fifa, dan seluruh dunia, atas apa yang terjadi di Cannes. Dua pekan kemudian, sebuah pertemuan digelar di Altrincham antara seorang perwakilan Al-Hilal, yang juga teman Eamonn dan George, dengan Eamonn sendiri.

“Apa yang kamu pikir akan terjadi jika kamu bertahan?” tanya pria dari Al-Hilal itu dengan sarkastik.

“Jika berhubungan dengan keluargamu, kamu tak bisa main-main,” balas Eamonn, dengan sangat serius.

Setelah diskusi panas itu, kedua pria itu berjabat tangan. Seminggu kemudian, pihak Saudi mengirim pelepasan Eamonn, dan bahwa ia bebas untuk bermain di Inggris. Petualangan Saudi telah berakhir. Akhirnya, ia terlepas dari komedi putar itu.

Ketika ia kembali ke Inggris, ia tak punya apa-apa.

Ia tak bisa mengambil gajinya – ada di rekening Saudinya – sehingga ia harus menjual rumahnya di Oldham. Ia kembali bekerja untuk Manchester Evening News, dan, pada akhirnya, mulai bermain secara semi profesional untuk Mossley.

Setelah mentari terbit dan kolam renang di Saudi, angin dan hujan dalam Northern Premier League tampak seperti langkah mundur. Namun Eamonn menyukainya.

Pada tahun 1979, Mosslety memenangkan liga dan piala dua kali dan Eamonn pun pindah ke Everton, yang berada di papan atas sepak bola Inggris, untuk penghasilan £25 ribu (Rp460 juta). Ia bermain sebanyak 40 kali di Divisi Pertama sebelum berpindah ke Wigan Athletic. Ia juga bermain lima kali untuk Republik Irlandia – termasuk, pada tahun 1985, melawan Inggris di Wembley.

Terakhir kali ia berada di sana, tahun 1968, ia masih seorang penggemar sepak bola yang menonton Manchester United mengalahkan Benfica dalam final Piala Eropa. Sekarang, orang-orang membayar sejumlah uang untuk menontonnya. Ini adalah salah satu dari banyak alasan dirinya tidak menaruh dendam untuk Saudi, Abdullah atau malam musim panas itu di Cannes.

“Jika hal itu (insiden di dalam lift) tidak pernah terjadi, saya masih akan berada di Saudi,” ujarnya. “Saya mungkin tidak akan pernah bermain untuk Everton, tidak akan pernah bermain untuk membela Irlandia.”

Eamonn kini tengah menghabiskan masa pensiunnya di dekat Manchester, tetapi masih bekerja paruh waktu untuk Everton FC

Hak atas fotoBBC / JON PARKER LEEImage captionEamonn kini tengah menghabiskan masa pensiunnya di dekat Manchester, tetapi masih bekerja paruh waktu untuk Everton FC

Abdullah tetap menjadi presiden Al-Hilal hingga tahun 1981, dan tetap menghambur-hamburkan uang. Setelah Eamonn, pemain berikutnya yang ia rekrut adalah Rivellino, pemenang Piala Dunia asal Brazil. Klub itu memenangkan liga yang baru dikelola oleh Jimmy Hill tahun 1977 dan 1979, dan seakarang menjadi salah satu klub terbesar di Asia.

Terlepas dari kecintaannya terhadap sepak bola, tak banyak yang diketahui tentang sang pangeran. Pusat Komunikasi Internasional dan Klub Sepak Bola Al-Hilal yang dimiliki pemerintah Arab Saudi menolak berkomentar tentang cerita Eamonn, dan hanya ada sedikit catatan terkait sang pangeran. Tidak heran, ia hanyalah satu di antara ratusan pangeran lainnya.

Kakek Abdullah – Ibnu Saud, pendiri negeri itu – memiliki 45 anak laki-laki. Dari itu semua, 36 di antaranya memiliki anak sendiri-sendiri, salah satunya Abdullah.

Seperti kata salah seorang pengamat Arab Saudi kepada BBC: “Pria-pria ini menjalani kehidupan yang sangat terlindungi, di tengah masyarakat yang bertolak belakang dengan para insan pers yang penuh tanya.”

Pemerintah Arab Saudi tidak bersedia mengatakan apakah Abdullah masih hidup, tetapi situs Al Hilal menyatakan bahwa ia telah meninggal dunia. Wartawan Middle Eastmengatakan kepada BBC bahwa ia meninggal dunia tahun 2007 lalu, sedangkan beberapa pihak lain mengatakan tahun 2006.

Menurut Arabic Wikipedia – isinya hanya kurang dari 400 kata – Abdullah memiliki tiga istri dan tujuh anak. Terakhir kali Eamonn melihatnya adalah saat ia mengungkapkan “Gertakan Terbaik”-nya di Riyadh.

Presentational grey line

Setelah memanajeri Cork City di Irlandia, Eamonn bekerja untuk dewan Cheshire. Ia kemudian pindah ke Portugal, tetapi sekarang ia sudah pensiun dan tinggal di dekat Manchester. Ia menjalani pengobatan kanker tahun 2017 lalu dengan radioterapi dan kemoterapi, dan berangsur-angsur membaik.

“Saya mengetuk kayu (tanda amit-amit supaya tak terjadi lagi) dan membaca do’a singkat, semuanya baik-baik saja sekarang,” ujarnya.

Ia masih bekerja di hari-hari pertandingan berlangsung di kamar-kamar hotel Everton, berbagi kisah dari karirnya. Selama bertahun-tahun, ia tidak membicarakan tentang Saudi: ia tidak mau mengingat kembali trauma itu, atau membiarkan dirinya diejek homofobik. Setelah pulang ke Inggris, ia bahkan menolak selembar cek yang dikirimkan seorang reporter tabloid.

Tetapi sekarang, lebih dari 40 tahun kemudian, ia senang membagikan semua pengalamannya. Lebih dari apa pun, ia ingin rekan-rekan timnya di Saudi tahu alasannya pergi dulu.

“Saya mencintai masa-masa saya di Saudi – bagaimana mungkin Anda tidak suka hidup seperti itu?” ujarnya. “Saya mencintai rekan-rekan setim saya, fasilitasnya hebat, dan kondisi saat itu sungguh fantastis. Kami senang di sana.”

Delapan tahun lalu Eamonn menulis sebuah otobiografi. Judulnya dengan sempurna menangkap kisah hidupnya, dari rumput hijau klub St Clare’s Catholic hingga petualangan Saudinya yang merah membara.(bbc.com)